Popular Post

Budaya Lokal yang Menghambat Indonesia untuk Maju

By : Unknown


Bhineka Tunggal Ika merupakan semboyan bangsa Indonesia yang artinya Berbeda-beda tetap satu . Indonesia memiliki banyak perbedaan oleh Negara lainya  salah satunya adalah budaya. Budaya-budaya di Indonesia sangatlah beragam dimulai dari budaya dari provinsi masing-masing, budaya kebiasaan, dan budaya-budaya yang lainnya. Budaya bisa disebut juga dengan indentitas atau karakter dari suatu daerah atau negara tersebut. Selain itu ada juga budaya yang bisa menghambat negara untuk maju. Berikut ini adalah beberapa budaya atau kebiasaan di Indonesia yang menghambat majunya negara kita tercinta.

Tidak tekun & ulet dalam berkarya
Tidak bisa dipungkiri bahwa sebahagian besar produk-produk karya anak bangsa kita kurang diminati dan kurang populer di Negara-negara lain, bahkan di negeri sendiri sajapun masih belum mampu menjadi tuan rumah. Dalam hal ini sepertinya saya lebih setuju dengan pendapat para teman-teman yang mengatakan bahwa, kurang diminatinya produk hasil karya bangsa kita sebab, dalam membuat produk apapun bangsa kita kurang tekun dan ulet dalam  menekuni hasil karyanya.

Kebiasaan tidak disiplin dan melanggar hukum peraturan
Banyak sekali contoh membuktikan bahwa orang2 yang berhasil sukses adalah orang2 yang selalu mentaati disiplin dan peraturan. Baik itu peraturan yang dibuat untuk diri sendiri atau peraturan Agama dan peraturan Negara. Ingatlah satu negara bisa makmur bila rakyatnya memiliki budaya berdisiplin yang tinggi. Lihat saja negara yang serumpun dengan Indonesia
Sementara di Indonesia sepertinya Tidak-berdisiplin dan melanggar hukum dan peraturan sudah jadi budaya kita. Sepertinya peraturan sengaja dibuat untuk dilanggar. Memang ada benarnya semboyan yang mengatakan “Bukan peraturan namanya kalau tidak dilanggar” Tapi kalau terus menerus melanggar peraturan itu namanya salah kaprah. Dari hal-hal kecil seperti memungut pajak dari orang2 pedagang kaki lima, menerima uang dalam kasus Tilang menilang, sampai hal-hal berskala besar.
Kalau kita benar-benar mau melihat negara ini aman, nyaman indah, makmur, dan sentosa, maka biasakanlah berdisiplin dan mentaati segala hukum dan peraturan, baik itu peraturan yang dibuat negara ataupun peraturan agama, termasuk juga peraturan yang menyangkut ketertiban umum, pemukiman dan kelestarian alam lingkungan dll.

Memperoleh sesuatu dengan cara Instan
Bisa dibilang orang-orang yang selalu memakai cara-cara instan dalam mencapai tujuan atau mendapat apa yang diinginkan adalah orang-orang pemalas karena tidak mau berkeringat, tidak kreatif karena tidak mau berfikir, pengecut karena tidak berani menerima tantangan. Orang-orang seperti ini tidaklah layak untuk memikul tugas dan menerima tanggung jawab apapun. Mungkin saja sebagian besar dari masyarakat kita ini lebih memilih cara-cara instan sehingga seperti inilah jadinya negara kita.

Bersikap seperti pahlawan dan siap menerima tantangan (namun tidak seperti judulnya)
Dalam hal ini saya hanya berharap kepada pemimpin2 bangsa agar lebih membela kepentingan rakyatnya sendiri, dan memproteksi seluruh kekayaan alam kita dari kelicikan bangsa-bangsa lain yang ingin menjadikan negara ini sebagai sapi perahan buat mereka.
Kita tidak boleh sok jago dengan membuat negeri ini menjadi seperti las vegas. Dan kita jangan berlagak seperti koboi yang menjunjung sportifitas. Kita harus tahudiri, menyadari siapa diri kita. Kita tidak boleh mengadu krisjon dengan mike tyson, Malaysia saja yang lebih makmur dari kita bertindak memproteksi diri dengan mematok kurs dollar saat krisis. Amerikapun negara super power sangat memproteksi negaranya sendiri. Apalagi kita negara yg masih bau kencur, belum waktunya untuk meliberalkan ekonomi, apalagi degan melakukan perdagangan bebas.

Kebiasaan NKK

Saya yakin kita semua sudah tahu, siapa yang dimaksud dengan penjilat. Bagi mereka yang bekerja di perkantoran pasti sudah tidak asing lagi. Mereka mengibaratkan penjilat adalah teman yang menikam dari belakang atau musuh dalam selimut. Karena penjilat adalah orang yang mencari keuntungan dengan mengorbankan teman sendiri.
Itulah gambaran jilat menjilat di lingkungan perkantoran. Bagaima pula halnya jilat menjilat di lingkungan bernegara? Pastilah penjilatnya berasal dari oknum2 pejabat pemerintah dan penegak hukum, atau sebaliknya merekalah yang menjadi objek penjilat. Kalau di lingkungan kantor yang menjadi korban adalah pegawai biasa, namun di lingkungan negara yang menjadi korban adalah rakyat dan negara itu sendiri. Kasus pelemahan KPK dan skandal Bank Century salah satu contoh yang tidak lepas dari upaya jilat menjilat antara oknum pejabat, penegak hukum dengan orang seperti Anggoro/Anggodo atau sebaliknya, demi mendapatkan keuntungan pribadi dan kelompok tertentu.
Di zaman penjajahan Belanda kita menyebut penjilat2 itu sebagai Antek-antek Belanda. Mungkin di zaman sekarang kita bisa menyebut mereka sebagai Antek-antek penjajah atau sebagai bodyguardnya para koruptor. Sungguh ironis nasib bangsa ini jika orang-orang seperti Anggoro, joko candra dll bisa menjadi “BOS BESAR”nya para pejabat dan penegak hukum kita.

Mendewakan produk Asing

Salah satu yang membuat ekonomi kita terus menerus terjajah di abad modern ini adalah karena sikap kita yang terlalu mendewa-dewakan orang asing dan segala yang berlabel asing, sehingga membuat kita tidak percaya diri dan tidak bisa melepas diri ketergantungan kepada asing. Kita selalu merasa takut ditinggal investor asing. Selalu mengukur kemajuan pada banyaknya orang asing yang datang, banyaknya bangunan apartement mewah yang menampung orang asing, dan banyaknya sewalayan-swalayan asing. Inilah yang menyebabkan kita selalu ditakut-takuti dan didikte oleh bangsa-bangsa lain? Padahal kita adalah bangsa besar. Rakyat kita adalah pasar yang besar. Negara kita negara kaya raya. Kita punya gunung emas di Irian. Kita punya pulau Natuna dan beribu pulau lain yang penuh dengan kekayaan alamnya. Kita juga punya kekayaan gas dimana-mana. Kita punya lautan luas yang termasuk salah satu terhebat di dunia. Kita punya hutan dan tanah yang sangat subur yang bisa dibilang paling subur didunia karena cukup matahari dan hujan, karena terletak di sepanjang khatulistiwa. Kita juga punya tambang, minyak bumi, timah, batubara dll. Intinya kita punya segala-galanya. Cuma satu yang tidak kita punya yaitu Mental untuk merdeka, dan berdiri diatas kaki sendiri.

Korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN)
Istilah korupsi di Indonesia sepertinya sudah bukan kata yang asing untuk di dengar, perilaku inilah salah satu yang bisa disebut sudah menjadi kebudayaan di Indonesia yang sangat memperhambat majunya suatu negara.Selain menghambat pertumbuhan ekonomi, korupsi juga menghambat pengembangan sistem pemerintahan demokratis. Korupsi memupuk tradisi perbuatan yang menguntungkan diri sendiri atau kelompok, yang mengesampingkan kepentingan publik. Dengan begitu korupsi menutup rapat-rapat kesempatan rakyat lemah untuk menikmati pembangunan ekonomi, dan kualitas hidup yang lebih baik. Pendekatan yang paling ampuh dalam melawan korupsi di Indonesia. Pertama, mulai dari meningkatkan standar tata pemerintahan – melalui konstruksi integritas nasional. Tata pemerintahan modern mengedepankan sistem tanggung gugat, dalam tatanan seperti ini harus muncul pers yang bebas dengan batas-batas undang-undang yang juga harus mendukung terciptanya tata pemerintah dan masyarakat yang bebas dari korupsi. Demikian pula dengan pengadilan. Pengadilan yang merupakan bagian dari tata pemerintahan, yudikatif, tidak lagi menjadi hamba penguasa. Namun, memiliki ruang kebebasan menegakkan kedaulatan hukum dan peraturan. Dengan demikian akan terbentuk lingkaran kebaikan yang memungkin seluruh pihak untuk melakukan pengawasan, dan pihak lain diawasi. Namun, konsep ini penulis akui sangat mudah dituliskan atau dikatakan daripada dilaksanakan. Setidaknya dibutuhkan waktu yang cukup lama untuk membangun pilar-pilar bangunan integritas nasional yang melakukan tugas-tugasnya secara efektif, dan berhasil menjadikan tindakan korupsi sebagai perilaku yang beresiko sangat tinggi dengan hasil yang sedikit.
Peraturan perundang-undangan (legislation) merupakan wujud dari politik hukum institusi Negara dirancang dan disahkan sebagai undang-undang pemberantasan tindak pidana korupsi. Secara parsial, dapat disimpulkan pemerintah dan bangsa Indonesia serius melawan dan memberantas tindak pidana korupsi di negeri ini. Tebang pilih. Begitu kira-kira pendapat beberapa praktisi dan pengamat hukum terhadap gerak pemerintah dalam menangani kasus korupsi akhir-akhir ini.
Gaung pemberantasan korupsi seakan menjadi senjata ampuh untuk dibubuhkan dalam teks pidato para pejabat Negara, bicara seolah ia bersih, anti korupsi. Masyarakat melalui LSM dan Ormas pun tidak mau kalah, mengambil manfaat dari kampanye anti korupsi di Indonesia. Pembahasan mengenai strategi pemberantasan korupsi dilakakukan dibanyak ruang seminar, booming anti korupsi, begitulah tepatnya. Meanstream perlawanan terhadap korupsi juga dijewantahkan melalui pembentukan lembaga Adhoc, Komisi Anti Korupsi (KPK).
Celah kelemahan hukum selalu menjadi senjata ampuh para pelaku korupsi untuk menghindar dari tuntutan hukum. Kasus Korupsi mantan Presiden Soeharto, contoh kasus yang paling anyar yang tak kunjung memperoleh titik penyelesaian. Perspektif politik selalu mendominasi kasus-kasus hukum di negeri sahabat Republik BBM ini. Padahal penyelesaiaan kasus-kasus korupsi besar seperti kasus korupsi Soeharto dan kroninya, dana BLBI dan kasus-kasus korupsi besar lainnya akan mampu menstimulus program pembangunan ekonomi di Indonesia.
Merangkai kata untuk perubahan memang mudah. Namun, melaksanakan rangkaian kata dalam bentuk gerakan terkadang teramat sulit. Dibutuhkan kecerdasan dan keberanian untuk mendobrak dan merobohkan pilar-pilar korupsi yang menjadi penghambat utama lambatnya pembangunan ekonomi nan paripurna di Indonesia. Korupsi yang telah terlalu lama menjadi wabah yang tidak pernah kunjung selesai, karena pembunuhan terhadap wabah tersebut tidak pernah tepat sasaran. Pemberantasan korupsi seakan hanya menjadi komoditas politik, bahan retorika ampuh menarik simpati. Oleh sebab itu dibutuhkan kecerdasan masyarakat sipil untuk mengawasi dan membuat keputusan politik mencegah makin mewabahnya penyakit kotor korupsi di Indonesia. Tidak mudah memang.

Kebiasaan berhutang dan kredit

Ternyata kebiasaan ini tidak hanya membudaya pada level masyarakat biasa, namun juga menjadi budaya di level elit dan para pemimpin negara.
Berhutang membuat kita terikat dan tidak lagi bebas. Apalagi berhutang dengan harus menandatangani sejumlah persyaratan2 sebagaimana yang pernah kita lakukan dengan IMF yang ternyata lebih banyak mudhorat(kerugian) dari pada manfaatnya.

Mendahulukan keuntungan pribadi daripada kepentingan bangsa dan negara
Asal aku dapat keuntungan besar, apapun akan aku lakukan. Mau mereka jungkir balik kek mau mampus kek aku tidak peduli ».
Mungkin begitulah kira2 pemikiran orang-orang yang tidak lagi mempedulikan bangsa dan negaranya. Orang-orang seperti ini akan menempuh segala cara untuk mendapat keuntungan pribadi. Mereka tidak lagi segan2 menipu dan mengakali rakyatnya sendiri. Jika orang2 yang bermental seperti ini berpolitik maka dia akan melakukan politik2 kotor seperti jual beli suara, politik dagang sapi dll. Orang-orang seperti ini juga rela merusak negara sendiri dan menjajah bangsa sendiri demi kekayaan pribadi. Selama orang-orang bermental seperti ini masih bercokol di bumi kita ini, maka selama itu pula kita akan melihat tindakan-tindakan dan politik yang tidak bermoral, tidak peduli dan pengrusakan secara membabi buta di segala sendi kehidupan berbangsa dan bernegara dan juga kerusakan pada alam lingkungan yang menjadi sumber penghidupan.

Kalah dalam segala event & Tertinggal jauh dalam cara berfikir
Sudah menjadi tradisi bahwa kita selalu kalah dalam banyak hal, baik dalam pertandingan, dalam berkarya bahkan dalam cara berfikir.
Kita masih saja berfikir bagaimana menjual bahan baku, sedangkan bangsa-bangsa lain sudah berfikir bagaimana mengelola dan mengeksport produk.
Kita masih saja berfikir bagaimana cara mengkadali dan mencari keuntungan dari bangsa dan rakyat sendiri yang memang masih sangat lugu dan polos, sedangkan bangsa-bangsa lain sudah berfikir bagaimana cara mengakali dan mencari keuntungan dari Negara2 lain.
Ini merupakan sepengal kebiasaan buruk bangsa Indonesia yang tercipta karena ulah para penjajah (menurut saya) karena agar para penjajah dapat menguasai wilayah yang dijajahnya jadi harus membuat pribumi menjadi bodoh sehingga tidak akan maju dan menerima menjadi budak,oleh karenanya kebiasaan buruk tersebut terbawa hingga sekarang .
kebiasaan diatas adalah kebiasaan umum bangsa Indonesia yang sudah kita ketahui secara luas mungkin saya termasuk dalama kategori diatas,olehkarenanya saya mencoba untuk berubah demi kemajuan ibu pertiwi

Pemakaman Tradisional Korea

By : Unknown

Di dalam lobi ruang rumah duka, Rumah Sakit Samsung di Seoul para pelayat yang memakai pakaian hitam berkabung memberikan penghormatan terakhir pada orang yang meninggal. Pemandangan tersebut adalah suatu hal yang umum dalam sebuah rumah duka, karena Samsung adalah leader dari kemajuan teknologi Korea Selatan, sehingga tidak mengherankan untuk melihat sebuah layar elektronik dengan resolusi tinggi gambar dari almarhum dan informasi dari 20 ruangan yang mereka punyai saat ini.
Karena revitalisasi budaya dalam beberapa tahun terakhir ini, Hanok, makgeolli, dan bahkan pernikahan Konghucu yang tidak menangkap antusiasme publik tampaknya diam-diam menghilang. Sama sih seperti halnya di Indonesia, semakin sibuknya manusia, semakin manusia itu menginginkan sesuatu hal yang sederhana atau gak mau repot.Di Korea Selatan sendiri punya prosesi pemakaman tradisional seperti di Bali dan juga daerah lainnya di Indonesia yang masih memegang teguh budaya mereka.
Dinilai dari faktor ekonomi, prosesi tersebut memakan banyak biaya. Terlebih lagi sepertinya bukan cuman satu atau dua benda yang dipakai dalam rangkaian prosesi panjang itu. Dan para praktisi tradisi tersebut juga sekarang sudah jarang ada, meskipun seorang praktisi bisa membuat sebuah pelayanan pemakaman, belum tentu keluarga almarhum dan juga masyarakat yang membantu tahu betul prosesi tersebut serta nyanyian-nyanyian yang mereka sering nyanyikan. Ya, gap-nya terlalu jauh.
Meskipun begitu, pasti sangat membanggakan kalau prosesi tersebut masih ada dijaman modern seperti sekarang ini. Di Bali misalnya, prosesi Ngaben jadi sumber devisa dan juga sebuah apresiasi seni dan budaya yang dilestarikan oleh sebuah negara dan menjadi identitas.

Hak Wanita Islam Dijamin, Tapi Ditekan oleh Tradisi yang Melanggar Syariah

By : Unknown


Rektor Universitas Taibah Adnan Mazrou di Madinah mengatakan bahwa hak-hak wanita dalam Islam merupakan anugerah dari Allah Subhanahu wa Ta’ala, lansir Arab News.
Hal itu dikatakan Mazrou saat hari Selasa (31/12/2013) membuka konferensi dua hari yang digelar sebagai bagian dari perayaan ditetapkannya Madinah sebagai ibukota budaya Islam 2013.
“Islam mejamin wanita hak-haknya,” ujar Mazrou seraya mengatakan bahwa Raja Abdullah berusaha keras untuk menerapkan hal tersebut.
Sementara Imam Azzam, wakil pimpinan fakultas hukum dalam pidatonya menekankan perlunya masyarakat diingatkan kembali mengenai hak-hak wanita yang dijamin dalam Islam tersebut.
Dalam acara pembukaan itu, Rawiah binti Ahmad Al-Zehar mendapat penghargaan. Dia adalah pemenang Penghargaan Madinah untuk riset masalah hak wanita dalam Islam. Sebelumnya, dia juga memenangi Penghargaan Pangeran Nayif untuk tulisannya tentang sunnah dan studi Islam kontemporer.
Syeikh Saleh Al-Maghamasi sebagai pembicara kunci menyoroti bahwa Islam menempatkan wanita pada posisi yang penting di dalam masyarakat. Dia mengingatkan para pria agar berlaku baik kepada para wanita.
Syeikh Al-Maghamasi menyinggung sejumlah negara di mana hak-hak wanitanya dilucuti dan wanita juga dibebankan tugas sosial yang seharusnya dipikul oleh para pria.
Dalam ceramahnya, Syeikh Al-Maghamasi mengatakan bahwa dalam konferensi itu topik di luar hak material wanita tidak akan dibahas, seperti masalah kerudung dan mengendarai mobil. Untuk memahami kedua masalah tersebut, katanya, orang harus mengkaji dan mengerti terlebih dahulu soal yurisprudensi dalam Islam.
Dalam makalahnya di sesi pertama, profesor studi Islam di fakultas pendidikan Universitas Raja Saud Khalid Al-Durais menegaskan bahwa diskusi-diskusi teoritis tentang hak-hak wanita tidak akan membawa perubahan apapun pada kondisi mengenaskan yang dialami wanita di banyak negara Islam. “Hal itu dikarenakan hak-hak wanita ditekan oleh tradisi-tradisi dan kebiasaan yang sudah mengakar dalam masyarakat yang melanggar keadilan, rahmat dan fadhilah hukum syariah.”
Al-Durais mendorong agar hukum pidana [syariah] ditegakkan bagi para pelanggar hak-hak wanita.
Nawal binti Abdul Aziz Al-Eid, seorang associate professor sunnah di perguruan tinggi khusus wanita Universitas Noura, menekankan perlunya menerapkan hukum Islam secara kaffah dalam masalah hak wanita dan menyelamatkan wanita dari tekanan westernisasi serta intimidasi konservatif.*

Budaya Siri' Na Pacce

By : Unknown

Budaya Siri' Na Pacce merupakan salah satu falsafah budaya Masyarakat Bugis-Makassar yang harus dijunjung tinggi. Apabila siri' na pacce tidak dimiliki seseorang, maka orang tersebut dapat melebihi tingkah laku binatang, sebab tidak memiliki rasa malu, harga diri, dan kepedulian sosial. Mereka juga hanya ingin menang sendiri dan memperturutkan hawa nafsunya. Istilah siri' na pacce sebagai sistem nilai budaya sangat abstrak dan sulit untuk didefenisikan karena siri' na pacce hanya bisa dirasakan oleh penganut budaya itu. Bagi masyarakat Bugis-Makassar, siri' mengajarkan moralitas kesusilaan yang berupa anjuran, larangan, hak dan kewajiban yang mendominasi tindakan manusia untuk menjaga dan mempertahankan diri dan kehormatannya. Siri' adalah rasa malu yang terurai dalam dimensi-dimensi harkat dan martabat manusia, siri' adalah sesuatu yang 'tabu' bagi masyarakat Bugis-Makassar dalam berinteraksi dengan orang lain. Sedangkan, pacce mengajarkan rasa kesetiakawanan dan kepedulian sosial tanpa mementingkan diri sendiri dan golongan inil adalah salah satu konsep yang membuat suku Bugis-Makassar mampu bertahan dan disegani diperantauan, pacce merupakan sifat belas kasih dan perasaan menanggung beban dan penderitaan orang lain, kalau istilah dalam bahasa Indonesia "Ringan sama dijinjing berat sama dipikul"

Dari aspek ontologi (wujud) budaya siri' na pacce mempunyai hubungan yang sangat kuat dengan pandangan islam dalam kerangka spiritualitas, dimana kekuatan jiwa dapat teraktualkan melalui penaklukan jiwa atas tubuh. Inti budaya siri' na pacce mencakup seluruh aspek kehidupan masyarakat Bugis-Makassar, karena siri' na pacce merupakan jati diri dari orang-orang Bugis-Makassar. Dengan adanya falsafah dan ideologi siri' na pacce maka keterikatan antar sesama dan kesetiakawanan menjadi lebih kuat, baik dengan sesama suku maupun dengan suku yang lain. Konsep siri' na pacce bukan hanya dianut oleh kedua suku ini (Bugis dan Makassar), tetapi juga dianut oleh suku-suku lain yang mendiami daratan Sulawesi seperti, suku Mandar dan Tator, hanya kosakata dan penyebutannya saja yang berbeda, tetapi falsafah ideologinya memilikii kesamaan dalam berinteraksi dengan sesama.
Berdasarkan jenisnya siri' terbagi atas 2 yaitu:
  1. Siri' Nipakasiri'
    Siri' Nipakasiri' terjadi apabila seseorang dihina atau diperlakukan diluar batas kewajaran. Maka ia atau keluarganya harus menegakkan siri'nya untuk mengembalikan kehormatan yang telah dirampas, jika tidak ia akan disebut "mate siri" atau mati harkat dan  martabatnya sebagai manusia. Bagi orang Bugis dan Makassar, tidak ada tujuan atau alasan hidup yang lebih tinggi dari pada menjaga siri'nya, mereka lebih senang mati dari pada hidup tanpa siri'. Mati karena mempertahankan siri' disebut "mate nigollai..mate nisantangngi" yang berarti mati secara terhormat untuk mempertahankan harga diri.
  2. Siri' Masiri'
    Siri' masiri' yaitu pandangan hidup yang bermaksud untuk mempertahankan, meningkatkan atau mencapai suatu prestasi yang dilakukan dengan sungguh-sungguh dan sekuat tenaga dengan mengerahkan segala daya upaya demi siri' itu sendiri. Seperti sebuah penggalan syair sinrili' "Takunjunga' bangung turu'.. Nakugunciri' gulingku.. Kuallengi Tallanga Natoalia" yang berarti "Layarku telah kukembangkang.. kemudiku telah kupasang.. aku memilih tenggelam dari pada melangkah surut". Semboyan tersebut melambangkan betapa masyarakat Bugis-Makassar memiliki tekad dan keberanian yang tinggi dalam mengarungi kehidupan ini.
Beradasarkan nilai-nilai yang terkandung budaya siri' na pacce terbagi atas 3 yaitu:
  1. Nilai Filosofis.
    Nilai Filosofis siri' na pacce adalah gambaran dari pandangan hidup orang-orang Bugis dan Makassar mengenai berbagai persoalan kehidupan yang meliputi watak orang Bugis Makassar yang reaktif, militan, optimis, konsisten, loyal, pemberani dan konstruktif.
  2. Nilai Etis.
    Pada nilai-nilai etis siri' na pacce terdapat nilai-nilai yang meliputi: teguh pendirian, setia, tahu diri, jujur, bijak, rendah hati, sopan, cinta dan empati.
  3. Nilai Estetis
    Nilai estetis dari siri' na pacce meliputi nilai estetis dalam non insani yang terdiri atas benda alam tak bernyawa, benda alam nabati, dan benda alam hewani
Budaya siri' na pacce adalah sesuatu yang sangat dibutuhkan oleh bangsa ini, untuk menjadi sebuah bangsa yang besar. Untuk itu diperlukan sosok-sosok muda yang memiliki jiwa dan karakter yang mapan karena pemuda adalah calon pemimpin dan pemiliki bangsa ini. Mereka harus memiliki siri' na pacce dalam diri mereka, dengan adanya budaya siri' na pacce anak pemuda bangsa ini akan menjadi lebih peka terhadap segala macam persoalan yang sedang melanda bangsa ini.

Seorang pemimpin yang memiliki budaya siri' na pacce dalam dirinya akan menjadi seorang pemimpin yang memiliki keberanian serta ketegasan, namun tetap bijaksana dalam memimpin. Seorang pemimpin yang memegang prinsip ini akan membawa bangsa ini menuju kearah yang lebih baik, karena mereka memiliki rasa peka terhadap lingkungan, mampu mendengarkan aspirasi-aspirasi orang-orang yang mereka pimpin karena itu sejalan dengan konsep negara kita yaitu Demokrasi.

Tradisi Mappacci Bugis Makassar

By : Unknown

Mappacci adalah kata kerja dari ‘mapaccing’ yang berarti bersih. Terkadang, di beberapa daerah Bugis, mappacci dikenal dengan sebutan mappepaccing. Dalam bahasa Bugis, mappacci/mappepaccing merupakan suatu kegiatan yang bertujuan untuk membersihkan segala sesuatu. Mappepaccing bola sibawa lewureng, yang berarti membersihkan rumah dan tempat tidur. Adapun kata perintahnya ‘paccingi’ yang berarti bersifat menyuruh atau memerintahkan untuk membersihkan. Paccingi kasoro’mu berarti bersihkan kasurmu. Kebanyakan kata kerja dalam bahasa bugis diawali dengan kata ‘Ma’, seperti; maggolo (main bola), mattinju (bertinju), mallaga (berkelahi), mammusu’ (bertempur), makkiana’ (melahirkan), dsb. Kata mapaccing dan mappacci merupakan dua kata yang kalau dilihat sekilas agaknya sama, namun memiliki arti yang berbeda. Yang pertama merupakan kata sifat dan yang kedua kata kerja. Kita sering mendengarkan penggunaan kata ini dalam kehidupan sehari-hari, khususnya di masyakat Bugis.

Perkembangan selanjutnya, istilah mappaccing lebih sering dikaitkan dengan salah satu rangkain kegiatan dalam proses perkawinan masyarakat Bugis-Makassar. Mappaccing lebih dikenal oleh masyarakat sebagai salah satu syarat yang wajib dilakukan oleh mempelai perempuan, terkadang sehari, sebelum pesta walimah pernikahan. Biasanya, acara mappaccing dihadiri oleh segenap keluarga untuk meramaikan prosesi yang sudah menjadi turun temurun ini. Dalam prosesi mappaccing, terlebih dahulu pihak keluarga melengkapi segala peralatan yang harus dipenuhi, seperti; Pacci (biasanya berasal dari tanah arab, namun ada pula yang berasal dari dalam negeri), daun kelapa, daun pisang, bantal, sarung sutera, lilin, dll. Tujuan dari mappacci adalah untuk membersihkan jiwa dan raga calon pengantin sebelum mengarungi bahtera rumah tangga.

Tidak diketahui dengan pasti, sejarah awal kapan kegiatan mappacci ditetapkan sebagai kewajiban adat (suku Bugis/Makassar) sebelum pesta perkawinan. Tapi, menurut kabar yang berkembang dikalangan generasi tua, prosesi mappacci telah mereka warisi secara turun-menurun dari nenek moyang kita, bahkan sebelum kedatangan agama Islam dan Kristen di tanah Bugis-Makassar. Oleh karena itu, kegiatan ini sudah menjadi budaya yang mendarah daging dan sepertinya sulit terpisahkan dari ritual perkawinan Bugis-Makassar. Mappacci menjadi salah satu syarat dan unsur pelengkap dalam pesta perkawinan di kalangan masyarakat Bugis-Makassar. Namun, ketika Islam datang, prosesi ini mengalami sinkretisme atau berbaur dengan budaya Islam. Bahkan Islam sebagai agama mayoritas suku Bugis-Makassar telah mengamini prosesi ini, melalui alim ulama yang biasa digelar Anregurutta.

Sekalipun Mappacci bukan merupakan suatu kewajiban agama dalam Islam, tapi mayoritas ulama di daerah Bugis-Makassar menganggapnya sebagai sennu-sennungeng ri decengnge (kecintaan akan kebaikan). Yang terjadi kemudian, pemuka agama berusaha untuk mencari legalitas atau dalil mappacci dalam kitab suci untuk memperkuat atau mengokohkan budaya ini. Sebagai contoh, salah satu ulama Islam tersohor di Bone, Alm. AGH. Daud Ismail, berusaha menafsirkan dan memaknai prosesi mappacci beserta alat-alat yang sering digunakan dalam prosesi ini. Sebelum prosesi Mappacci, biasanya calon pengantin perempuan dihias dengan pakaian pengantin khas Bugis-Makassar. Selanjutnya, calon pengantin diarak duduk di atas kursi (namun ada pula yang duduk di lantai) untuk memulai prosesi mappacci. Di depan calon pengantin perempuan, diletakkan sebuah bantal yang sering ditafsirkan dan dianggap sebagai simbol kehormatan. Bantal sering diidentikkan dengan kepala, yang menjadi titik sentral bagi aktivitas manusia. Diharapkan dengan simbol ini, calon pengantin lebih mengenal dan memahami akan identitas dirinya, sebagai mahluk yang mulia dan memiliki kehormatan dari Sang Pencipta (Puangge:Bugis).

Di atas bantal, biasanya diletakkan sarung sutera yang jumlahnya tersusun dengan bilangan ganjil. Sebagian ulama menyamakan susunan sarung sutera ganjil, dengan Hadis Nabi Saw yang yang berbunyi; Allah itu ganjil dan suka yang ganjil. Sarung sendiri ditafsirkan sebagai sifat istikamah atau ketekunan. Sifat istikamah sendiri, telah dipraktikkan oleh sang pembuat sarung sutera. Tiap hari, mereka harus menenun dan menyusun sehelai demi sehelai benang, hingga menjadi sebuah sarung yang siap pakai. Dengan sikap istikamah atau ketekunan ini, diharapkan calon pengantin dapat mengambil pelajaran dan hikmah dari sang pembuat sarung sutera untuk diamalkan dalam kehidupan rumah tangga. Terkadang juga, sarung dianggap sebagai simbol penutup aurat bagi masyarakat Bugis-Makassar. Jadi, diharapkan agar calon mempelai perempuan senantiasa menjaga harkat dan martabatnya, tidak menimbulkan rasa malu (siri’) di tengah-tengah masyarakat kelak.

Terkadang, diatas sarung sutera diletakkan daun pisang. Daun pisang memang tidak memilik nilai jual yang tinggi, tapi memiliki makna yang mendalam bagi manusia pada umumnya. Salah satu sifat dari pisang adalah tidak akan mati atau layu sebelum muncul tunas yang baru. Hal ini selaras dengan tujuan utama pernikahan, yaitu; melahirkan atau mengembangkan keturunan. Karakter lain dari pisang, yaitu; satu pohon pisang, dimungkinkan untuk dinikmati oleh banyak orang. Dengan perkawinan, diharapkan calon pengantin berguna dan membawa mampaat bagi orang banyak.

Diatas daun pisang, terkadang diletakkan daun nangka. Daun nangka tentu tidak memiliki nilai jual, tapi menyimpan makna yang mendalam. Anregurutta di Bone pernah berkata dalam bahasa Bugis; Dua mitu mamala ri yala sappo ri lalenna atuwongnge, iyanaritu; unganna panasae (lempuu) sibawa belona kalukue (paccing). Maksudnya, dalam mengarungi kehidupan dunia, ada dua sifat yang harus kita pegang, yaitu; Kejujuran dan Kebersihan. Jadi, dalam mengarungi bahtera rumah tangga, calon pengantin senantiasa berpegang pada kejujuran dan kebersihan yang meliputi lahir dan batin. Dua modal utama inilah yang menjadi pegangan penting, bagi masyarakat Bugis-Makassar dalam mengarungi bahtera rumah tangga.
Diatas daun pisang, terkadang juga diletakkan gula merah dan kelapa muda. Dalam tradisi masyarakat Bugis-Makassar, menikmati kelapa muda, terasa kurang lengkap tanpa adanya gula merah. Sepertinya, kelapa muda sudah identik dengan gula merah untuk mencapai rasa yang nikmat. Seperti itulah kehidupan rumah tangga, diharapkan suami-istri senantiasa bersama, untuk saling melengkapi kekurangan dan menikmati pahit manisnya kehidupan duniawi. Terakhir, mappacci juga dilengkapi dengan lilin sebagai simbol penerang. Konon, zaman dahulu, nenek moyang kita memakai Pesse’(lampu penerang tradisional yang terbuat dari kotoran lebah). Maksud dari lilin, agar suami-istri mampu menjadi penerang bagi masyarakat di masa yang akan datang. Masih banyak lagi peralatan prosesi, yang biasa dipakai oleh masyarakat, sesuai dengan adat dan kebiasaan mereka. Namun, secara umum peralatan yang telah disebutkan diatas, standar yang sering digunakan dibeberapa daerah Bugis-Makassar.

Adat Dan Upacara Perkawinan Suku Bugis Makassar

By : Unknown


* Asal-Usul Upacara Perkawinan Suku Makassar.

Appa’bunting dalam bahasa Makassar berarti melaksanakan upacara perkawinan. Sementara itu, istilah perkawinan dalam bahasa Bugis disebut siala yang berarti saling mengambil satu sama lain. Dengan demikian, perkawinan adalah ikatan timbal balik antara dua insan yang berlainan jenis kelamin untuk menjalin sebuah kemitraan.

Menurut Ibrahim A (Badruzzaman, 2007), istilah perkawinan dapat juga disebut siabbinéng dari kata biné yang berarti benih padi. Dalam tata bahasa Bugis, kata biné jika mendapat awalan “ma” menjadi mabbiné berarti menanam benih. Kata biné atau mabbiné ini memiliki kedekatan bunyi dan makna dengan kata bainé (istri) atau mabbainé (beristri). Maka dalam konteks ini, kata siabbinéng mengandung makna menanam benih dalam kehidupan rumah tangga.

Menurut pandangan orang Bugis-Makassar, perkawinan bukan sekedar menyatukan dua mempelai dalam hubungan suami-istri, tetapi perkawinan merupakan suatu upacara yang bertujuan untuk menyatukan dua keluarga besar yang telah terjalin sebelumnya menjadi semakin erat atau dalam istilah orang Bugis disebut mappasideppémabélaé atau mendekatkan yang sudah jauh (Pelras, 2006:178). Oleh karena itu, perkawinan di kalangan masyarakat Bugis umumnya berlangsung antarkeluarga dekat atau antarkelompok patronasi (endogami), terutama di kalangan masyarakat biasa, karena mereka sudah saling memahami sebelumnya (Hilman Hadikusuma, 2003:68).

Meskipun sistem perkawinan endogami tersebut masih bertahan hingga sekarang, namun tidak dianut secara ketat. Dewasa ini, pemilihan jodoh sudah banyak dilakukan di luar lingkungan kerabat elautherogami (Hadikusuma, 2003:69). Kendati demikian, peran orang tua tetap diperlukan untuk memberikan petunjuk anak-anaknya agar mendapatkan pasangan hidup dari keturunan orang baik-baik, memiliki adab sopan-santun, kecantikan, keterampilan rumah tangga, serta memiliki pengetahuan agama. 

Dengan demikian, keterlibatan orang tua dan kerabat dalam pelaksanaan pesta perkawinan tidak dapat diabaikan. Mereka tetap memegang peranan sebagai penentu dan pelaksana dalam perkawinan anak-anaknya. H. TH. Chabot, (Badruzzaman, 2007) mengatakan, pilihan pasangan hidup bukanlah urusan pribadi, namun merupakan urusan keluarga dan kerabat. Untuk itulah,  perkawinan perlu dilakukan secara sungguh-sungguh menurut agama dan adat yang berlaku di dalam masyarakat.

Alasan lain orang Bugis-Makassar harus mengadakan pesta perkawinan adalah karena hal tersebut sangat berkaitan dengan status sosial mereka dalam masyarakat. Semakin meriah sebuah pesta, semakin mempertinggi status sosial soseorang. Millar (Pelras, 2006:184) pernah mengatakan bahwa upacara perkawinan merupakan media bagi orang Bugis-Makassar untuk menunjukkan posisinya dalam masyarakat dengan menjalankan ritual-ritual serta mengenakan pakaian-pakaian, perhiasan, dan berbagai pernak-pernik tertentu sesuai dengan kedudukan sosial mereka dalam masyarakat. Oleh karena itu, tak jarang sebuah keluarga menjadikan pesta perkawinan sebagai ajang untuk meningkatkan status sosial mereka.



* Tahapan-Tahapan Upacara Perkawinan Suku Makassar

1.      A'jagang-jagang/Ma'manu-manu
Penyelidikan secara diam-diam oleh pihak calon mempelai pria untuk mengetahui latar belakang pihak calon mempelai wanita.

2.      A'suro/Massuro
Acara ini merupakan acara pinangan secara resmi pihak calon mempelai pria kepada calon mempelai wanita. Dahulu, proses meminang bisa dilakukan beberapa fase dan bisa berlangsung berbulan-bulan untuk mencapai kesepakatan.

3.      Appa'nasa/Patenre Ada

Usai acara pinangan, dilakukan appa'nasa/patenre ada yaitu menentukan hari pernikahan. Selain penentuan hari pernikahan, juga disepakati besarnya mas kawin dan uang belanja. Besarnya mas kawin dan uang belanja ditentukan menurut golongan atau strata sosial sang gadis dan kesanggupan pihak keluarga pria.

4.      Appanai Leko Lompo (erang-erang)

Setelah pinangan diterima secara resmi, maka dilakukan pertunangan yang disebut A'bayuang yaitu ketika pihak keluarga lelaki mengantarkan passio/passiko atau Pattere ada (Bugis). Hal ini dianggap sebagai pengikat dan biasanya berupa cincin. Prosesi mengantarkan passio diiringi dengan mengantar daun sirih pinang yang disebut Leko Caddi. Namun karena pertimbangan waktu, sekarang acara ini dilakukan bersamaan dengan acara Patenre Ada atau Appa'nasa.

5.      A'barumbung (mappesau)

Acara mandi uap yang dilakukan oleh calon mempelai wanita.

6.      Appasili Bunting (Cemme Mapepaccing)

Kegiatan tata upacara ini terdiri dari appasili bunting, a'bubu, dan appakanre bunting. Prosesi appasili bunting ini hampir mirip dengan siraman dalam tradisi pernikahan Jawa. Acara ini dimaksudkan sebagai pembersihan diri lahir dan batin sehingga saat kedua mempelai mengarungi bahtera rumah tangga, mereka akan mendapat perlindungan dari Yang Kuasa dan dihindarkan dari segala macam mara bahaya. Acara ini dilanjutkan dengan Macceko/A'bubu atau mencukur rambut halus di sekitar dahi yang dilakukan oleh Anrong Bunting (penata rias). Tujuannya agar dadasa atau hiasan hitam pada dahi yang dikenakan calon mempelai wanita dapat melekat dengan baik. Setelah usai, dilanjutkan dengan acara Appakanre Bunting atau suapan calon mempelai yang dilakukan oleh anrong bunting dan orang tua calon mempelai. Suapan dari orang tua kepada calon mempelai merupakan simbol bahwa tanggung jawab orang tua kepada si anak sudah berakhir dan dialihkan ke calon suami si calon mempelai wanita.

1.    Alat/Bahan yang Digunakan

Beberapa alat atau bahan yang digunakan dalam prosesi adat ini adalah:

a.       Pammaja’ besar/Gentong.

b.      Gayung/tatakan pammaja’.

c.       Air, sebagai media yang suci dan mensucikan.

d.      Bunga tujuh rupanna (tujuh macam bunga) dan wangi-wangian.

e.       Ja’jakkang, terdiri dari segantang (4 liter) beras diletakkan dalam sebuah bakul.

f.       Kanjoli’ (lilin), berupa lilin berwarna merah berjumlah tujuh atau sembilan batang.

g.      Kelapa tunas.

h.      Gula merah.

i.        Pa’dupang.

j.        Leko’ passili.  

2.    Prosesi Acara Appassili

Sebelum dimandikan, calon mempelai terlebih dahulu memohon doa restu kepada kedua orang tua di depan pelaminan. Lalu calon mempelai dituntun ke tempat siraman di bawah naungan payung berbentuk segi empat yang dipegang oleh empat orang gadis bila calon mempelai wanita dan empat orang laki-laki jika calon mempelai pria. Prosesi dimulai diawali oleh Anrong Bunting, setelah selesai dilanjutkan oleh kedua orang tua serta orang-orang yang dituakan (To’malabbiritta) yang berjumlah tujuh atau sembilan pasang.

Tata cara pelaksanaan siraman adalah air dari pammaja ataugentong yang telah dicampur dengan 7 (tujuh) macam bunga dituangkan ke atas bahu kanan kemudian ke bahu kiri calon mempelai dan terakhir di punggung, disertai dengan doa dari masing-masing orang yang diberi mandat untuk memandikan calon mempelai. Setelah keseluruhan selesai, acara siraman diakhiri oleh Ayahanda yang memandu calon mempelai mengambil air wudhu dan mengucapakan dua kalimat syahadat sebanyak tiga kali. Selanjutnya calon mempelai menuju ke kamar untuk berganti pakaian.

7.      A’Bubu
Setelah berganti pakaian, calon mempelai selanjutnya didudukkan di depan pelaminan dengan berbusana Baju bodo, tope (sarung pengantin), serta assesories lainnya. Prosesi acara A’bu
bu (macceko) dimulai dengan membersihkan rambut atau bulu-bulu halus yang terdapat di ubun-ubun atau alis, acara ini dilakukan oleh Anrong Bunting (penata rias), yang bertujuan memudahkan dalam merias pengantin wanita, dan supaya   hiasan hitam pada dahi yang dikenakan calon mempelai wanita dapat melekat dengan baik.

8.      Appakanre Bunting

Appakanre bunting artinya menyuapi calon mempelai dengan makan berupa kue-kue khas tradisional Makassar, seperti Bayao Nibalu, Cucuru’ Bayao, Sirikaya, Onde-onde/ Umba-umba, Bolu Peca, dan lain-lain yang telah disiapkan dan ditempatkan dalam suatu wadah besar yang disebut Bosara Lompo. Acara Appakanre Bunting atau suapan calon mempelai yang dilakukan oleh  orang tua calon mempelai, ini merupakan simbol bahwa tanggung jawab orang tua kepada si anak sudah berakhir dan dialihkan ke calon suami.

9.      Akkorontigi
Sehari menjelang pesta pernikahan, rumah calon mempelai wanita telah ditata dan dihiasi sedemikian rupa dengan dekorasi khas makassar, yang terdiri dari:
1. Pelaminan (lamming);
2. Bantal;
3. Sarung sutera sebanyak 7 (tujuh) lembar yang diletakkan di atas bantal;
4. Bombong Unti (Pucuk daun pisang);
5. Leko Panasa (Daun nangka), daun nangka diletakkan di atas pucuk daun pisang secara bersusun terdiri dari 7 atau 9 lembar;
6. Leko’ Korontigi (Daun Pacci), adalah semacam daun tumbuh-tumbuhan (daun pacar) yang ditumbuk halus;
7.Benno’ (Bente), adalah butiran beras yang digoreng tanpa menggunakan minyak hingga mekar;
a.Unti Te’ne (Pisang Raja);
b.Ka’do’ Minnya’ (Nasi Ketan);
c.Kanjoli/Tai Bani (Lilin berwarna merah).
            Acara Akkorontigi merupakan suatu rangkaian acara yang sakral yang dihadiri oleh seluruh sanak keluarga (famili) dan undangan. Acara Akkorontigi memiliki hikmah yang mendalam, mempunyai nilai dan arti kesucian dan kebersihan lahir dan batin, dengan harapan agar calon mempelai senantiasa bersih dan suci dalam menghadapi hari esok yaitu hari pernikahannya.

 Dalam ritual ini, mempelai wanita dipakaikan daun pacar ke tangan si calon mempelai. Masyarakat Makassar memiliki keyakinan bahwa daun pacar memiliki sifat magis dan melambangkan kesucian. Menjelang pernikahan biasanya diadakan malam pacar atau Akkorontigi, yang artinya malam mensucikan diri dengan meletakan tumbukan daun pacar ke tangan calon mempelai. Orang-orang yang diminta meletakkan daun pacar adalah orang-orang yang punya kedudukan sosial yang baik serta memiliki rumah tangga langgeng dan bahagia.

Setelah para undangan lengkap dimana sanak keluarga atau para undangan yang telah dimandatkan untuk meletakkan daun pacar telah tiba, acara dimulai dengan pembacaan barzanji atau shalawat nabi, setelah petugas barzanji berdiri, maka prosesi peletakan daun pacar dimulai oleh Anrong bunting yang kemudian diikuti oleh sanak keluarga dan para undangan yang telah diberi tugas. Satu persatu para handai taulan dan undangan dipanggil didampingi oleh gadis-gadis pembawa lilin yang menjemput mereka dan memandu menuju pelaminan. Acara Akkorontigi ini diakhiri dengan peletakan daun pacar oleh kedua orang tua tercinta dan ditutup dengan doa.Malam korontigi dilakukan menjelang upacara pernikahan dan diadakan di rumah masing-masing calon mempelai.

10.  Assimorong/Menre'kawing
           Acara ini merupakan acara akad nikah dan menjadi puncak dari rangkaian upacara pernikahan adat Bugis-Makassar. Calon mempelai pria diantar ke rumah calon mempelai wanita yang disebut Simorong (Makasar) atau Menre'kawing (Bugis). Di masa sekarang, dilakukan bersamaan dengan prosesi Appanai Leko Lompo (seserahan). Karena dilakukan bersamaan, maka rombongan terdiri dari dua rombongan, yaitu rombongan pembawa Leko Lompo (seserahan) dan rombongan calon mempelai pria bersama keluarga dan undangan.

11.  Appabajikang Bunting

Prosesi ini merupakan prosesi menyatukan kedua mempelai. Setelah akad nikah selesai, mempelai pria diantar ke kamar mempelai wanita. Dalam tradisi Bugis-Makasar, pintu menuju kamar mempelai wanita biasanya terkunci rapat. Kemudian terjadi dialog singkat antara pengantar mempelai pria dengan penjaga pintu kamar mempelai wanita. Setelah mempelai pria diizinkan masuk, kemudian diadakan acara Mappasikarawa (saling menyentuh). Sesudah itu, kedua mempelai bersanding di atas tempat tidur untuk mengikuti beberapa acara seperti pemasangan sarung sebanyak tujuh lembar yang dipandu oleh indo botting (pemandu adat). Hal ini mengandung makna mempelai pria sudah diterima oleh keluarga mempelai wanita.

12.  Alleka bunting (marolla)

Acara ini sering disebut sebagai acara ngunduh mantu. Sehari sesudah pesta pernikahan, mempelai wanita ditemani beberapa orang anggota keluarga diantar ke rumah orang tua mempelai pria. Rombongan ini membawa beberapa hadiah sebagia balasan untuk mempelai pria. Mempelai wanita membawa sarung untuk orang tua mempelai pria dan saudara-saudaranya. Acara ini disebut Makkasiwiang.[2]

* Nilai-nilai yang terkandung di dalam Upacara perkawinan suku Makassar

Nilai-nilai yang terkandung di dalam upacara adat perkawinan Suku Bugis-Makassar di antaranya adalah:

1.       Sakralitas. Nilai ini terlihat jelas dari pelaksanaan berbagai macam ritual-ritual khusus seperti mandi tolak bala, pembacaan berzanji, acara mappacci, dan lain sebagainya. Ritual-ritual tersebut dianggap sacral oleh orang Bugis-Makassar dan bertujuan untuk memohon keselamatan kepada Allah SWT.

  1. Penghargaan terhadap kaum perempuan. Nilai ini terlihat pada keberadaan proses peminangan yang harus dilakukan oleh mempelai pria. Hal ini menunjukkan suatu upaya untuk menghargai kaum perempuan dengan meminta restu dari kedua orang tuanya. Nilai penghargaan terhadap perempuan juga dapat dilihat dengan adanya pemberian mahar berupa mas kawin dan dui’ balanca/uang belanja yang cukup tinggi dari pihak laki-laki kepada pihak perempuan. Keberadaan mahar sebagai hadiah ini merupakan isyarat atau tanda kemuliaan perempuan.
  2. Kekerabatan. Bagi orang Bugis-Makassar, perkawinan bukan sekedar menyatukan dua insan yang berlainan jenis menjadi hubungan suami-istri, tetapi lebih kepada menyatukan dua keluarga besar
  3. Gotong-royong. Nilai ini terlihat pada pelaksanaan pesta perkawinan yang melibatkan kaum kerabat, handai taulan, dan para tetangga. Mereka tidak  tidak saja memberikan bantuan berupa pikiran dan tenaga, tetapi juga dana untuk membiayai pesta tersebut.
  4. Status sosial. Pesta perkawinan bagi orang Bugis-Makassar bukan sekedar upacara perjamuan biasa, tetapi lebih kepada peningkatan status sosial. Semakin meriah sebuah pesta, semakin maka semakin tinggi status social

seseorang. Oleh karena itu, tak jarang sebuah keluarga menjadikan pesta perkawinan sebagai ajang untuk meningkatkan status sosial mereka.

- Copyright © TRADISI DAN BUDAYA - Date A Live - Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -