- Back to Home »
- KEBUDAYAAN MAKASSAR DAN BUGIS »
- Tradisi Mappacci Bugis Makassar
Posted by : Unknown
Kamis, 30 Januari 2014
Mappacci
adalah kata kerja dari ‘mapaccing’ yang berarti bersih. Terkadang, di
beberapa daerah Bugis, mappacci dikenal dengan sebutan mappepaccing.
Dalam bahasa Bugis, mappacci/mappepaccing merupakan suatu kegiatan yang
bertujuan untuk membersihkan segala sesuatu. Mappepaccing bola sibawa
lewureng, yang berarti membersihkan rumah dan tempat tidur. Adapun kata
perintahnya ‘paccingi’ yang berarti bersifat menyuruh atau memerintahkan
untuk membersihkan. Paccingi kasoro’mu berarti bersihkan kasurmu.
Kebanyakan kata kerja dalam bahasa bugis diawali dengan kata ‘Ma’,
seperti; maggolo (main bola), mattinju (bertinju), mallaga (berkelahi),
mammusu’ (bertempur), makkiana’ (melahirkan), dsb. Kata mapaccing dan
mappacci merupakan dua kata yang kalau dilihat sekilas agaknya sama,
namun memiliki arti yang berbeda. Yang pertama merupakan kata sifat dan
yang kedua kata kerja. Kita sering mendengarkan penggunaan kata ini
dalam kehidupan sehari-hari, khususnya di masyakat Bugis.
Perkembangan selanjutnya, istilah mappaccing lebih sering dikaitkan dengan salah satu rangkain kegiatan dalam proses perkawinan masyarakat Bugis-Makassar.
Mappaccing lebih dikenal oleh masyarakat sebagai salah satu syarat yang
wajib dilakukan oleh mempelai perempuan, terkadang sehari, sebelum
pesta walimah pernikahan. Biasanya, acara mappaccing dihadiri oleh
segenap keluarga untuk meramaikan prosesi yang sudah menjadi turun
temurun ini. Dalam prosesi mappaccing, terlebih dahulu pihak keluarga
melengkapi segala peralatan yang harus dipenuhi, seperti; Pacci
(biasanya berasal dari tanah arab, namun ada pula yang berasal dari
dalam negeri), daun kelapa, daun pisang, bantal, sarung sutera, lilin,
dll. Tujuan dari mappacci adalah untuk membersihkan jiwa dan raga calon
pengantin sebelum mengarungi bahtera rumah tangga.
Tidak
diketahui dengan pasti, sejarah awal kapan kegiatan mappacci ditetapkan
sebagai kewajiban adat (suku Bugis/Makassar) sebelum pesta perkawinan.
Tapi, menurut kabar yang berkembang dikalangan generasi tua, prosesi
mappacci telah mereka warisi secara turun-menurun dari nenek moyang
kita, bahkan sebelum kedatangan agama Islam dan Kristen di tanah
Bugis-Makassar. Oleh karena itu, kegiatan ini sudah menjadi budaya yang
mendarah daging dan sepertinya sulit terpisahkan dari ritual perkawinan
Bugis-Makassar. Mappacci menjadi salah satu syarat dan unsur pelengkap
dalam pesta perkawinan di kalangan masyarakat Bugis-Makassar. Namun,
ketika Islam datang, prosesi ini mengalami sinkretisme atau berbaur
dengan budaya Islam. Bahkan Islam sebagai agama mayoritas suku
Bugis-Makassar telah mengamini prosesi ini, melalui alim ulama yang
biasa digelar Anregurutta.
Sekalipun
Mappacci bukan merupakan suatu kewajiban agama dalam Islam, tapi
mayoritas ulama di daerah Bugis-Makassar menganggapnya sebagai sennu-sennungeng ri decengnge (kecintaan
akan kebaikan). Yang terjadi kemudian, pemuka agama berusaha untuk
mencari legalitas atau dalil mappacci dalam kitab suci untuk memperkuat
atau mengokohkan budaya ini. Sebagai contoh, salah satu ulama Islam
tersohor di Bone, Alm. AGH. Daud Ismail, berusaha menafsirkan dan
memaknai prosesi mappacci beserta alat-alat yang sering digunakan dalam
prosesi ini. Sebelum prosesi Mappacci, biasanya calon pengantin
perempuan dihias dengan pakaian pengantin khas Bugis-Makassar.
Selanjutnya, calon pengantin diarak duduk di atas kursi (namun ada pula
yang duduk di lantai) untuk memulai prosesi mappacci. Di depan calon
pengantin perempuan, diletakkan sebuah bantal yang sering ditafsirkan
dan dianggap sebagai simbol kehormatan. Bantal sering diidentikkan
dengan kepala, yang menjadi titik sentral bagi aktivitas manusia.
Diharapkan dengan simbol ini, calon pengantin lebih mengenal dan
memahami akan identitas dirinya, sebagai mahluk yang mulia dan memiliki
kehormatan dari Sang Pencipta (Puangge:Bugis).
Di
atas bantal, biasanya diletakkan sarung sutera yang jumlahnya tersusun
dengan bilangan ganjil. Sebagian ulama menyamakan susunan sarung sutera
ganjil, dengan Hadis Nabi Saw yang yang berbunyi; Allah itu ganjil dan
suka yang ganjil. Sarung sendiri ditafsirkan sebagai sifat istikamah
atau ketekunan. Sifat istikamah sendiri, telah dipraktikkan oleh sang
pembuat sarung sutera. Tiap hari, mereka harus menenun dan menyusun
sehelai demi sehelai benang, hingga menjadi sebuah sarung yang siap
pakai. Dengan sikap istikamah atau ketekunan ini, diharapkan calon
pengantin dapat mengambil pelajaran dan hikmah dari sang pembuat sarung
sutera untuk diamalkan dalam kehidupan rumah tangga. Terkadang juga,
sarung dianggap sebagai simbol penutup aurat bagi masyarakat
Bugis-Makassar. Jadi, diharapkan agar calon mempelai perempuan
senantiasa menjaga harkat dan martabatnya, tidak menimbulkan rasa malu (siri’) di tengah-tengah masyarakat kelak.
Terkadang,
diatas sarung sutera diletakkan daun pisang. Daun pisang memang tidak
memilik nilai jual yang tinggi, tapi memiliki makna yang mendalam bagi
manusia pada umumnya. Salah satu sifat dari pisang adalah tidak akan
mati atau layu sebelum muncul tunas yang baru. Hal ini selaras dengan
tujuan utama pernikahan, yaitu; melahirkan atau mengembangkan keturunan.
Karakter lain dari pisang, yaitu; satu pohon pisang, dimungkinkan untuk
dinikmati oleh banyak orang. Dengan perkawinan, diharapkan calon
pengantin berguna dan membawa mampaat bagi orang banyak.
Diatas
daun pisang, terkadang diletakkan daun nangka. Daun nangka tentu tidak
memiliki nilai jual, tapi menyimpan makna yang mendalam. Anregurutta di Bone pernah berkata dalam bahasa Bugis; Dua mitu mamala ri yala sappo ri lalenna atuwongnge, iyanaritu; unganna panasae (lempuu) sibawa belona kalukue (paccing). Maksudnya,
dalam mengarungi kehidupan dunia, ada dua sifat yang harus kita pegang,
yaitu; Kejujuran dan Kebersihan. Jadi, dalam mengarungi bahtera rumah
tangga, calon pengantin senantiasa berpegang pada kejujuran dan
kebersihan yang meliputi lahir dan batin. Dua modal utama inilah yang
menjadi pegangan penting, bagi masyarakat Bugis-Makassar dalam
mengarungi bahtera rumah tangga.
Diatas
daun pisang, terkadang juga diletakkan gula merah dan kelapa muda.
Dalam tradisi masyarakat Bugis-Makassar, menikmati kelapa muda, terasa
kurang lengkap tanpa adanya gula merah. Sepertinya, kelapa muda sudah
identik dengan gula merah untuk mencapai rasa yang nikmat. Seperti
itulah kehidupan rumah tangga, diharapkan suami-istri senantiasa
bersama, untuk saling melengkapi kekurangan dan menikmati pahit manisnya
kehidupan duniawi. Terakhir, mappacci juga dilengkapi dengan lilin
sebagai simbol penerang. Konon, zaman dahulu, nenek moyang kita memakai Pesse’(lampu
penerang tradisional yang terbuat dari kotoran lebah). Maksud dari
lilin, agar suami-istri mampu menjadi penerang bagi masyarakat di masa
yang akan datang. Masih banyak lagi peralatan prosesi, yang biasa
dipakai oleh masyarakat, sesuai dengan adat dan kebiasaan mereka. Namun,
secara umum peralatan yang telah disebutkan diatas, standar yang sering
digunakan dibeberapa daerah Bugis-Makassar.