- Back to Home »
- KEBUDAYAAN MAKASSAR DAN BUGIS »
- Adat Dan Upacara Perkawinan Suku Bugis Makassar
Posted by : Unknown
Kamis, 30 Januari 2014
* Asal-Usul Upacara Perkawinan Suku Makassar.
Appa’bunting dalam bahasa Makassar berarti melaksanakan upacara perkawinan. Sementara
itu, istilah perkawinan dalam bahasa Bugis disebut siala yang berarti
saling mengambil satu sama lain. Dengan demikian, perkawinan adalah ikatan
timbal balik antara dua insan yang berlainan jenis kelamin untuk menjalin
sebuah kemitraan.
Menurut
Ibrahim A (Badruzzaman, 2007), istilah perkawinan dapat juga disebut siabbinéng
dari kata biné yang berarti benih padi. Dalam tata bahasa Bugis, kata biné
jika mendapat awalan “ma” menjadi mabbiné berarti menanam benih. Kata biné
atau mabbiné ini memiliki kedekatan bunyi dan makna dengan kata bainé
(istri) atau mabbainé (beristri). Maka dalam konteks ini, kata siabbinéng
mengandung makna menanam benih dalam kehidupan rumah tangga.
Menurut
pandangan orang Bugis-Makassar, perkawinan
bukan sekedar menyatukan dua mempelai dalam hubungan suami-istri, tetapi
perkawinan merupakan suatu upacara yang bertujuan untuk menyatukan dua keluarga
besar yang telah terjalin sebelumnya menjadi semakin erat atau dalam istilah
orang Bugis disebut mappasideppémabélaé atau mendekatkan yang sudah jauh
(Pelras, 2006:178). Oleh karena itu, perkawinan di kalangan masyarakat Bugis
umumnya berlangsung antarkeluarga dekat atau antarkelompok patronasi (endogami),
terutama di kalangan masyarakat biasa, karena mereka sudah saling memahami
sebelumnya (Hilman Hadikusuma, 2003:68).
Meskipun
sistem perkawinan endogami tersebut masih bertahan hingga sekarang,
namun tidak dianut secara ketat. Dewasa ini, pemilihan jodoh sudah banyak
dilakukan di luar lingkungan kerabat elautherogami (Hadikusuma,
2003:69). Kendati demikian, peran orang tua tetap diperlukan untuk memberikan
petunjuk anak-anaknya agar mendapatkan pasangan hidup dari keturunan orang
baik-baik, memiliki adab sopan-santun, kecantikan,
keterampilan rumah tangga, serta memiliki pengetahuan agama.
Dengan
demikian, keterlibatan orang tua dan kerabat dalam pelaksanaan pesta perkawinan
tidak dapat diabaikan. Mereka tetap memegang peranan sebagai penentu dan
pelaksana dalam perkawinan anak-anaknya. H. TH. Chabot, (Badruzzaman, 2007) mengatakan, pilihan pasangan
hidup bukanlah urusan pribadi, namun merupakan urusan keluarga dan kerabat.
Untuk itulah, perkawinan perlu dilakukan
secara sungguh-sungguh menurut agama dan adat yang berlaku di dalam masyarakat.
Alasan lain
orang Bugis-Makassar harus mengadakan pesta perkawinan
adalah karena hal tersebut sangat berkaitan dengan status sosial mereka dalam
masyarakat. Semakin meriah sebuah pesta, semakin mempertinggi status sosial
soseorang. Millar (Pelras, 2006:184) pernah mengatakan bahwa upacara perkawinan
merupakan media bagi orang Bugis-Makassar untuk
menunjukkan posisinya dalam masyarakat dengan menjalankan ritual-ritual serta
mengenakan pakaian-pakaian, perhiasan, dan berbagai pernak-pernik tertentu
sesuai dengan kedudukan sosial mereka dalam masyarakat. Oleh karena itu, tak
jarang sebuah keluarga menjadikan pesta perkawinan sebagai ajang untuk
meningkatkan status sosial mereka.
* Tahapan-Tahapan Upacara Perkawinan Suku Makassar
1. A'jagang-jagang/Ma'manu-manu
Penyelidikan secara diam-diam oleh pihak calon mempelai pria untuk mengetahui latar belakang pihak calon mempelai wanita.
Penyelidikan secara diam-diam oleh pihak calon mempelai pria untuk mengetahui latar belakang pihak calon mempelai wanita.
2. A'suro/Massuro
Acara ini merupakan acara pinangan secara resmi pihak calon mempelai pria kepada calon mempelai wanita. Dahulu, proses meminang bisa dilakukan beberapa fase dan bisa berlangsung berbulan-bulan untuk mencapai kesepakatan.
Acara ini merupakan acara pinangan secara resmi pihak calon mempelai pria kepada calon mempelai wanita. Dahulu, proses meminang bisa dilakukan beberapa fase dan bisa berlangsung berbulan-bulan untuk mencapai kesepakatan.
3. Appa'nasa/Patenre
Ada
Usai acara pinangan, dilakukan appa'nasa/patenre ada yaitu
menentukan hari pernikahan. Selain penentuan hari pernikahan, juga disepakati
besarnya mas kawin dan uang belanja. Besarnya mas kawin dan uang belanja
ditentukan menurut golongan atau strata sosial sang gadis dan kesanggupan pihak
keluarga pria.
4. Appanai Leko
Lompo (erang-erang)
Setelah pinangan diterima secara resmi, maka dilakukan pertunangan yang
disebut A'bayuang yaitu ketika pihak keluarga lelaki mengantarkan passio/passiko
atau Pattere ada (Bugis). Hal ini dianggap sebagai pengikat dan biasanya
berupa cincin. Prosesi mengantarkan passio diiringi dengan mengantar
daun sirih pinang yang disebut Leko Caddi. Namun karena pertimbangan
waktu, sekarang acara ini dilakukan bersamaan dengan acara Patenre Ada
atau Appa'nasa.
5. A'barumbung
(mappesau)
Acara mandi uap yang dilakukan oleh calon mempelai wanita.
6. Appasili
Bunting (Cemme Mapepaccing)
Kegiatan tata upacara ini terdiri dari appasili bunting, a'bubu,
dan appakanre bunting. Prosesi appasili bunting ini hampir mirip
dengan siraman dalam tradisi pernikahan Jawa. Acara ini dimaksudkan sebagai
pembersihan diri lahir dan batin sehingga saat kedua mempelai mengarungi
bahtera rumah tangga, mereka akan mendapat perlindungan dari Yang Kuasa dan
dihindarkan dari segala macam mara bahaya. Acara ini dilanjutkan dengan Macceko/A'bubu
atau mencukur rambut halus di sekitar dahi yang dilakukan oleh Anrong
Bunting (penata rias). Tujuannya agar dadasa atau hiasan hitam pada
dahi yang dikenakan calon mempelai wanita dapat melekat dengan baik. Setelah
usai, dilanjutkan dengan acara Appakanre Bunting atau suapan calon
mempelai yang dilakukan oleh anrong bunting dan orang tua calon
mempelai. Suapan dari orang tua kepada calon mempelai merupakan simbol bahwa
tanggung jawab orang tua kepada si anak sudah berakhir dan dialihkan ke calon
suami si calon mempelai wanita.
1.
Alat/Bahan yang
Digunakan
Beberapa alat atau bahan yang digunakan dalam
prosesi adat ini adalah:
a.
Pammaja’ besar/Gentong.
b.
Gayung/tatakan
pammaja’.
c.
Air, sebagai media yang
suci dan mensucikan.
d.
Bunga tujuh rupanna
(tujuh macam bunga) dan wangi-wangian.
e.
Ja’jakkang, terdiri
dari segantang (4 liter) beras diletakkan dalam sebuah bakul.
f.
Kanjoli’ (lilin),
berupa lilin berwarna merah berjumlah tujuh atau sembilan batang.
g.
Kelapa tunas.
h.
Gula merah.
i.
Pa’dupang.
j.
Leko’ passili.
2.
Prosesi Acara Appassili
Sebelum
dimandikan, calon mempelai terlebih dahulu memohon doa restu kepada kedua orang
tua di depan pelaminan. Lalu calon mempelai dituntun ke tempat siraman di bawah
naungan payung berbentuk segi empat yang dipegang oleh empat orang gadis bila
calon mempelai wanita dan empat orang laki-laki jika calon mempelai pria.
Prosesi dimulai diawali oleh Anrong Bunting, setelah selesai dilanjutkan oleh
kedua orang tua serta orang-orang yang dituakan (To’malabbiritta) yang berjumlah
tujuh atau sembilan pasang.
Tata cara pelaksanaan siraman adalah air dari
pammaja ataugentong yang telah dicampur dengan 7 (tujuh) macam bunga dituangkan
ke atas bahu kanan kemudian ke bahu kiri calon mempelai dan terakhir di
punggung, disertai dengan doa dari masing-masing orang yang diberi mandat untuk
memandikan calon mempelai. Setelah keseluruhan selesai, acara siraman diakhiri
oleh Ayahanda yang memandu calon mempelai mengambil air wudhu dan mengucapakan
dua kalimat syahadat sebanyak tiga kali. Selanjutnya calon mempelai menuju ke
kamar untuk berganti pakaian.
7. A’Bu’bu
Setelah berganti pakaian, calon mempelai selanjutnya didudukkan di depan pelaminan dengan berbusana Baju bodo, tope (sarung pengantin), serta assesories lainnya. Prosesi acara A’bu’bu (macceko) dimulai dengan membersihkan rambut atau bulu-bulu halus yang terdapat di ubun-ubun atau alis, acara ini dilakukan oleh Anrong Bunting (penata rias), yang bertujuan memudahkan dalam merias pengantin wanita, dan supaya hiasan hitam pada dahi yang dikenakan calon mempelai wanita dapat melekat dengan baik.
Setelah berganti pakaian, calon mempelai selanjutnya didudukkan di depan pelaminan dengan berbusana Baju bodo, tope (sarung pengantin), serta assesories lainnya. Prosesi acara A’bu’bu (macceko) dimulai dengan membersihkan rambut atau bulu-bulu halus yang terdapat di ubun-ubun atau alis, acara ini dilakukan oleh Anrong Bunting (penata rias), yang bertujuan memudahkan dalam merias pengantin wanita, dan supaya hiasan hitam pada dahi yang dikenakan calon mempelai wanita dapat melekat dengan baik.
8. Appakanre Bunting
Appakanre bunting artinya menyuapi calon mempelai
dengan makan berupa kue-kue khas tradisional Makassar, seperti Bayao Nibalu,
Cucuru’ Bayao, Sirikaya, Onde-onde/ Umba-umba, Bolu Peca, dan lain-lain yang
telah disiapkan dan ditempatkan dalam suatu wadah besar yang disebut Bosara
Lompo. Acara Appakanre Bunting atau suapan calon mempelai yang dilakukan
oleh orang tua calon mempelai, ini merupakan simbol bahwa tanggung jawab
orang tua kepada si anak sudah berakhir dan dialihkan ke calon suami.
9.
Akkorontigi
Sehari menjelang pesta pernikahan, rumah calon mempelai wanita telah ditata dan dihiasi sedemikian rupa dengan dekorasi khas makassar, yang terdiri dari:
1. Pelaminan (lamming);
2. Bantal;
3. Sarung sutera sebanyak 7 (tujuh) lembar yang diletakkan di atas bantal;
4. Bombong Unti (Pucuk daun pisang);
5. Leko Panasa (Daun nangka), daun nangka diletakkan di atas pucuk daun pisang secara bersusun terdiri dari 7 atau 9 lembar;
6. Leko’ Korontigi (Daun Pacci), adalah semacam daun tumbuh-tumbuhan (daun pacar) yang ditumbuk halus;
7.Benno’ (Bente), adalah butiran beras yang digoreng tanpa menggunakan minyak hingga mekar;
a.Unti Te’ne (Pisang Raja);
b.Ka’do’ Minnya’ (Nasi Ketan);
c.Kanjoli/Tai Bani (Lilin berwarna merah).
Acara Akkorontigi merupakan suatu rangkaian acara yang sakral yang dihadiri oleh seluruh sanak keluarga (famili) dan undangan. Acara Akkorontigi memiliki hikmah yang mendalam, mempunyai nilai dan arti kesucian dan kebersihan lahir dan batin, dengan harapan agar calon mempelai senantiasa bersih dan suci dalam menghadapi hari esok yaitu hari pernikahannya.
Sehari menjelang pesta pernikahan, rumah calon mempelai wanita telah ditata dan dihiasi sedemikian rupa dengan dekorasi khas makassar, yang terdiri dari:
1. Pelaminan (lamming);
2. Bantal;
3. Sarung sutera sebanyak 7 (tujuh) lembar yang diletakkan di atas bantal;
4. Bombong Unti (Pucuk daun pisang);
5. Leko Panasa (Daun nangka), daun nangka diletakkan di atas pucuk daun pisang secara bersusun terdiri dari 7 atau 9 lembar;
6. Leko’ Korontigi (Daun Pacci), adalah semacam daun tumbuh-tumbuhan (daun pacar) yang ditumbuk halus;
7.Benno’ (Bente), adalah butiran beras yang digoreng tanpa menggunakan minyak hingga mekar;
a.Unti Te’ne (Pisang Raja);
b.Ka’do’ Minnya’ (Nasi Ketan);
c.Kanjoli/Tai Bani (Lilin berwarna merah).
Acara Akkorontigi merupakan suatu rangkaian acara yang sakral yang dihadiri oleh seluruh sanak keluarga (famili) dan undangan. Acara Akkorontigi memiliki hikmah yang mendalam, mempunyai nilai dan arti kesucian dan kebersihan lahir dan batin, dengan harapan agar calon mempelai senantiasa bersih dan suci dalam menghadapi hari esok yaitu hari pernikahannya.
Dalam ritual ini, mempelai wanita dipakaikan
daun pacar ke tangan si calon mempelai. Masyarakat Makassar memiliki keyakinan
bahwa daun pacar memiliki sifat magis dan melambangkan kesucian. Menjelang
pernikahan biasanya diadakan malam pacar atau Akkorontigi, yang artinya malam
mensucikan diri dengan meletakan tumbukan daun pacar ke tangan calon mempelai.
Orang-orang yang diminta meletakkan daun pacar adalah orang-orang yang punya
kedudukan sosial yang baik serta memiliki rumah tangga langgeng dan bahagia.
Setelah
para undangan lengkap dimana sanak keluarga atau para undangan yang telah
dimandatkan untuk meletakkan daun pacar telah tiba, acara dimulai dengan
pembacaan barzanji atau shalawat nabi, setelah petugas barzanji berdiri, maka
prosesi peletakan daun pacar dimulai oleh Anrong bunting yang kemudian diikuti
oleh sanak keluarga dan para undangan yang telah diberi tugas. Satu persatu
para handai taulan dan undangan dipanggil didampingi oleh gadis-gadis pembawa
lilin yang menjemput mereka dan memandu menuju pelaminan. Acara Akkorontigi ini
diakhiri dengan peletakan daun pacar oleh kedua orang tua tercinta dan ditutup dengan
doa.Malam korontigi dilakukan menjelang upacara pernikahan dan diadakan di
rumah masing-masing calon mempelai.
10. Assimorong/Menre'kawing
Acara ini merupakan acara akad nikah dan menjadi puncak dari rangkaian upacara pernikahan adat Bugis-Makassar. Calon mempelai pria diantar ke rumah calon mempelai wanita yang disebut Simorong (Makasar) atau Menre'kawing (Bugis). Di masa sekarang, dilakukan bersamaan dengan prosesi Appanai Leko Lompo (seserahan). Karena dilakukan bersamaan, maka rombongan terdiri dari dua rombongan, yaitu rombongan pembawa Leko Lompo (seserahan) dan rombongan calon mempelai pria bersama keluarga dan undangan.
Acara ini merupakan acara akad nikah dan menjadi puncak dari rangkaian upacara pernikahan adat Bugis-Makassar. Calon mempelai pria diantar ke rumah calon mempelai wanita yang disebut Simorong (Makasar) atau Menre'kawing (Bugis). Di masa sekarang, dilakukan bersamaan dengan prosesi Appanai Leko Lompo (seserahan). Karena dilakukan bersamaan, maka rombongan terdiri dari dua rombongan, yaitu rombongan pembawa Leko Lompo (seserahan) dan rombongan calon mempelai pria bersama keluarga dan undangan.
11. Appabajikang
Bunting
Prosesi ini
merupakan prosesi menyatukan kedua mempelai. Setelah akad nikah selesai,
mempelai pria diantar ke kamar mempelai wanita. Dalam tradisi Bugis-Makasar,
pintu menuju kamar mempelai wanita biasanya terkunci rapat. Kemudian terjadi
dialog singkat antara pengantar mempelai pria dengan penjaga pintu kamar
mempelai wanita. Setelah mempelai pria diizinkan masuk, kemudian diadakan acara
Mappasikarawa (saling menyentuh). Sesudah itu, kedua mempelai bersanding
di atas tempat tidur untuk mengikuti beberapa acara seperti pemasangan sarung
sebanyak tujuh lembar yang dipandu oleh indo botting (pemandu adat). Hal
ini mengandung makna mempelai pria sudah diterima oleh keluarga mempelai
wanita.
12. Alleka
bunting (marolla)
Acara ini sering disebut sebagai acara ngunduh mantu. Sehari sesudah
pesta pernikahan, mempelai wanita ditemani beberapa orang anggota keluarga
diantar ke rumah orang tua mempelai pria. Rombongan ini membawa beberapa hadiah
sebagia balasan untuk mempelai pria. Mempelai wanita membawa sarung untuk orang
tua mempelai pria dan saudara-saudaranya. Acara ini disebut Makkasiwiang.[2]
* Nilai-nilai yang terkandung di dalam Upacara perkawinan suku Makassar
Nilai-nilai
yang terkandung di dalam upacara adat perkawinan Suku Bugis-Makassar di
antaranya adalah:
1. Sakralitas. Nilai ini terlihat jelas dari pelaksanaan berbagai macam
ritual-ritual khusus seperti mandi tolak bala, pembacaan berzanji, acara mappacci,
dan lain sebagainya. Ritual-ritual tersebut dianggap sacral oleh orang Bugis-Makassar dan bertujuan untuk memohon
keselamatan kepada Allah SWT.
- Penghargaan terhadap kaum perempuan. Nilai ini terlihat pada keberadaan proses peminangan yang harus dilakukan oleh mempelai pria. Hal ini menunjukkan suatu upaya untuk menghargai kaum perempuan dengan meminta restu dari kedua orang tuanya. Nilai penghargaan terhadap perempuan juga dapat dilihat dengan adanya pemberian mahar berupa mas kawin dan dui’ balanca/uang belanja yang cukup tinggi dari pihak laki-laki kepada pihak perempuan. Keberadaan mahar sebagai hadiah ini merupakan isyarat atau tanda kemuliaan perempuan.
- Kekerabatan. Bagi orang Bugis-Makassar, perkawinan bukan sekedar menyatukan dua insan yang berlainan jenis menjadi hubungan suami-istri, tetapi lebih kepada menyatukan dua keluarga besar
- Gotong-royong. Nilai ini terlihat pada pelaksanaan pesta perkawinan yang melibatkan kaum kerabat, handai taulan, dan para tetangga. Mereka tidak tidak saja memberikan bantuan berupa pikiran dan tenaga, tetapi juga dana untuk membiayai pesta tersebut.
- Status sosial. Pesta perkawinan bagi orang Bugis-Makassar bukan sekedar upacara perjamuan biasa, tetapi lebih kepada peningkatan status sosial. Semakin meriah sebuah pesta, semakin maka semakin tinggi status social
seseorang.
Oleh karena itu, tak jarang sebuah keluarga menjadikan pesta perkawinan sebagai
ajang untuk meningkatkan status sosial mereka.